Mpr Dpr Dpd Presiden Bpk Ma Dan Mk

Pemberian rehabilitasi atau grasi

Hubungan presiden dengan MA juga berkaitan dengan pemberian rehabilitasi atau grasi kepada seseorang. Dengan begitu, pengajuan grasi nantinya dipertimbangkan MA.

tirto.id - Dalam pemerintahan Indonesia, presiden sebagai lembaga eksekutif memunyai hubungan dengan beberapa lembaga lainnya. Hubungan antara presiden dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Menurut catatan Arief Wisnu dalam jurnal Varia Hukum (2018, hlm. 1521), hubungan antara presiden dan lembaga negara lainnya bersifat fleksibel, menyesuaikan zaman dan kondisi global.

Pada dasarnya, UUD 1945 telah mengatur hubungan antarlembaga negara agar seimbang dan bisa saling kontrol. Dengan begitu, baik presiden maupun lembaga negara lain, bisa bekerja sama tanpa saling menguasai, sesuai tugas masing-masing.

Dalam praktiknya, presiden berhubungan dengan lembaga-lembaga legislatif seperti DPR, MPR, dan DPD. Bukan hanya itu, presiden Republik Indonesia (RI) juga berhubungan dengan lembaga yudikatif, yaitu MA dan MK.

Lalu, bagaimana hubungan antara DPR, MK, presiden, dan MPR? Simak penjelasan terkait hubungan presiden dengan DPR, MA, MK, MPR, dan DPD, di bawah ini.

Hubungan Presiden dengan MK

Presiden dengan MK memiliki hubungan dalam menjalankan pemerintahan. Di antaranya yakni ketika MK melakukan pengujian perpu, terjadi sengketa kewenangan dengan lembaga negara lain, pembubaran partai, dan proses pemberhentian presiden.

Hubungan presiden dengan MK dalam hal pengujian perpu mirip seperti MA. MK bertugas mempertimbangkan perpu yang dibikin presiden, seperti yang dilakukan oleh MA.

Pemberhentian presiden

Hubungan MPR dan presiden yang pertama berkaitan dengan pemberhentian seorang presiden. Presiden hanya bisa diberhentikan oleh

jika memang terbukti melanggar hukum.

Hubungan Presiden dengan DPD

Berbeda dengan hubungan presiden dengan DPR, yang terjalin secara langsung, keterlibatan presiden dan DPD terjadi melalui DPR. Dengan kata lain, jika DPD ada sebuah urusan dengan presiden, pihaknya musti mengomunikasikannya lewat DPR.

Dalam menjalankan hubungan terbatas ini, DPD, yang biasanya merumuskan UU terkait daerahnya, akan mengajukan peraturan tersebut ke DPR. Apabila sudah diterima, rancangan aturan tersebut akan dibahas oleh DPR bersama presiden.

Oleh karena itu, rancangan UU yang sebelumnya dibuat oleh DPD baru bisa ditetapkan pemberlakuannya setelah Presiden dan DPR melakukan pertimbangan. Kendati tidak berhubungan langsung, tetap ada hubungan antara dua lembaga negara ini.

Ada juga hubungan antara presiden dan DPR dalam proses pelaksanaan Rancangan UU (RUU) yang sudah disahkan. DPD, yang bertugas menjalankan RUU tersebut, diawasi oleh presiden.

- Partai Golkar telah membuat keputusan resmi untuk mengganti Mahyudin sebagai Wakil Ketua MPR. Penggantinya adalah Titiek Soeharto. Proses penggantian pimpinan MPR mengingatkan kita pada upaya penggantian pimpinan DPR dan DPD sebelumnya.

Di DPR beberapa kali terjadi drama penggantian pimpinan. Mulai dari cerita Setya Novanto digantikan oleh Ade Komaruddin, dan kembalinya Setya Novanto ke posisi semula sebagai Ketua DPR. Cerita tersebut berlanjut hingga penetapan Setya Novanto sebagai tersangka, mengundurkan diri untuk kedua kalinya, dan Partai Golkar menggantinya dengan Bambang Soesatyo sebagai Ketua DPR.

Pada saat itu, tidak ada upaya hukum untuk melawan keputusan partai. Semua penuh kerelaan untuk menerima pengusulan partai untuk diganti/mengganti sebagai pimpinan DPR. Berbeda dengan Mahyudin yang tidak mau mengundurkan diri, dan akan melawan keputusan partai. Ceritanya bisa jadi akan sama dengan cerita antara PKS dengan Fahri Hamzah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fahri Hamzah melawan keputusan PKS untuk diganti sebagai Wakil Ketua DPR. Hingga saat ini Fahri Hamzah tetap langgeng, dan upaya hukumnya berhasil hingga tingkat pengadilan tinggi. Saat ini gugatan perbuatan melawan hukum tersebut berada pada proses kasasi dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Di DPD, setelah Irman Gusman ditetapkan sebagai tersangka, gejolak terjadi. Drama di DPD juga berujung pada upaya hukum. Di DPD seluruh paket pimpinan berganti dan kini DPD dipimpin oleh Osman Sapta Odang. Entah sampai mana cerita upaya hukum yang dilakukan oleh Farouk Muhammad dan Ratu Hemas.

Jadi cerita bongkar pasang paket pimpinan MPR, DPR, dan DPD telah beberapa kali terjadi, dan terjadi pada semua kamar parlemen.

Sebab pimpinan MPR, DPR, dan DPD berhenti dari jabatannya sama yaitu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berhenti sebagai anggota, atau diberhentikan. Jika pimpinan MPR, DPR, dan DPD meninggal dunia atau mengundurkan diri, tentu tidak ada cerita perlawanan hukum karena kedua sebab tersebut mengandung kerelaan hati dan berhalangan tetap untuk melaksanakan tugas pimpinan. Sehingga sebenarnya yang menjadi sebab keributan di parlemen adalah karena adanya proses pemberhentian, dan pimpinan yang bersangkutan tidak mau digantikan.

Ketiga kamar parlemen tersebut mengatur hal berbeda mengenai kondisi objektif proses pemberhentian pimpinan. Di MPR, pimpinan diberhentikan bila diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD, atau tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.

Sedangkan di DPR, pimpinannya diberhentikan apabila tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh MKD DPR, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya, melanggar larangan dan diberhentikan sebagai anggota partai politik.

Untuk DPD sendiri, pemberhentian dilakukan jika terdapat kondisi pimpinan meninggal dunia, tidak dapat melaksanakan tugas dan melanggar sumpah/janji jabatan serta kode etik.

Jadi, kerangka hukum dan sebab pemberhentian pimpinan MPR, DPR, dan DPD seperti itulah adanya tertulis. Dikaitkan dengan keputusan Golkar untuk mengganti Mahyudin dengan Titiek Soeharto sebagai Wakil Ketua MPR, pasti kita akan mudah mendapatkan jawaban bahwa secara normatif memang tidak terdapat alasan dan kondisi yang membenarkan untuk menggantikan Mahyudin. Jadi ketentuan pengusulan penggantian pimpinan oleh partai politik tidak terdapat di MPR. Seperti saat Partai Golkar mengusulkan menarik Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR untuk digantikan oleh Setya Novanto.

Adanya ketentuan di DPR yang dapat menarik sewaktu-waktu pimpinan berdasarkan usulan partai politik yang mengusulkannya akan menciptakan ketidakpastian hukum dan turbulensi politik yang dapat mengganggu fokus lembaga parlemen.

Seharusnya dengan paket pimpinan yang bersifat tetap, selain ditafsirkan jatah pimpinan merupakan hak fraksi yang memenangkan proses pemilihan pada saat paripurna, demi kepastian hukum dan konsekuensi sifat pemilihan pimpinan, maka frasa bersifat tetap harus ditafsirkan juga bahwa masa jabatan pimpinan DPR yang dipilih dalam paripurna bersifat tetap, pimpinan DPR menjabat 1 (satu) periode selama 5 (lima) tahun dan tidak berganti-ganti tanpa alasan yang dapat diterima oleh hukum.

Akan tetapi, usulan untuk menarik pimpinan DPR tidak semuanya berhasil. Seperti diketahui umum, walaupun Fahri Hamzah diusulkan untuk diganti oleh PKS, hingga kini tetap langgeng menduduki kursi Wakil Ketua DPR karena selain dukungan politik internal yang kuat di DPR, Fahri Hamzah juga memenangkan gugatan perbuatan melawan hukum.

Terakhir, memang tidak terdapat sebab untuk melakukan penggantian terhadap Mahyudin sebagai salah satu pimpinan MPR. Akan tetapi, pilihannya tetap kembali pada Mahyudin pribadi. Apakah mengikuti jejak Ade Komaruddin yang penuh dengan kebesaran jiwa atau mengikuti jejak perlawanan Fahri Hamzah terhadap partainya.

Satu hal yang perlu tetap diingat dan dipertimbangkan oleh Mahyudin, walaupun tidak ada sebab untuk menggantikannya, Partai Golkar yang memiliki perpanjangan tangan fraksi di MPR tetap tidak kehilangan hak untuk mengatur internal fraksinya. Termasuk namun tidak terbatas pada siapa yang ditunjuk untuk menduduki kursi Wakil Ketua MPR untuk menggantikannya. Mulusnya pelaksanaan kebijakan fraksi di parlemen faktanya tetap menjadi faktor yang dapat mengoptimalkan kinerja MPR dan anggotanya.

Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo menghadiri pelantikan anggota MPR/DPR/DPD RI masa bakti tahun 2019-2024. Acara pelantikan dilangsungkan dalam sidang paripurna yang digelar di Ruang Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2019.Sidang paripurna dipimpin oleh pimpinan sementara, yaitu Abdul Wahab Dalimunthe, anggota DPR tertua, dan Hillary Brigitta Lasut, anggota DPR termuda. Prosesi pelantikan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Surat Keputusan Presiden Nomor 98/P Tahun 2019 oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.Sebanyak 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terpilih kemudian mengucapkan sumpah/janji jabatan yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali. "Bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian Hatta Ali mendiktekan sumpah jabatan."Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia," lanjut Ketua MA, seperti dilansir dari siaran pers Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Erlin Suastini.Acara kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan berita acara yang dilakukan secara simbolis oleh 5 anggota DPR dan penyerahan Memori DPR oleh Pimpinan DPR periode 2014-2019 kepada pimpinan sementara DPR. Sidang paripurna kemudian ditutup oleh pimpinan sementara DPR.Setelah itu, sidang paripurna dibuka kembali untuk mengambil sumpah/janji anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih. Sidang paripurna DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD, yaitu Sabam Sirait, anggota DPD tertua, dan Jialyka Maharani, anggota DPD termuda.Prosesi acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Surat Keputusan Presiden Nomor 98/P Tahun 2019 oleh Sekretaris Jenderal DPD Donny Moenek. Sama halnya dengan anggota DPR, sebanyak 136 anggota DPD terpilih kemudian mengucapkan sumpah/janji jabatan yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.Seluruh anggota DPR RI dan DPD RI yang berjumlah 711 orang kemudian diambil sumpah/janji jabatan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bertindak selaku pimpinan sementara adalah Sabam Sirait dan Hillary Brigitta Lasut.Usai membacakan sumpah/janji jabatan, prosesi acara diakhiri dengan penandatanganan berita acara secara simbolis yang disaksikan oleh Hatta Ali. Setelah itu, pimpinan sementara mengetuk palu sebagai simbol penutupan sidang paripurna.Turut hadir dalam acara pelantikan ini antara lain Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta Ibu Mufidah Jusuf Kalla, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, dan Wakil Presiden ke-9 RI Hamzah Haz.Selain itu tampak hadir juga Wakil Presiden RI terpilih periode 2019-2024 K.H. Ma'ruf Amin, para Menteri Kabinet Kerja, sejumlah tokoh masyarakat, dan perwakilan negara-negara sahabat. (Humas Kemensetneg)

Kamu mungkin sering mendengar istilah MPR, DPR, dan DPD dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Ingatkah kamu apa kepanjangan MPR, DPR, dan DPD?

MPR, DPR dan DPD merupakan lembaga legislatif di Indonesia. Masing-masing mempunyai peran atau tugas untuk kepentingan negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

DPR dan DPD dipilih oleh rakyat lewat pemilihan umum, sedangkan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang juga dipilih melalui pemilihan umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengucapan sumpah presiden

Hubungan presiden dengan MA juga terjalin saat seorang presiden pertama kali terpilih. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden mesti mengucap sumpah kepada

Bagaimana Hubungan antara DPR dengan Presiden?

Salah satu lembaga yang erat kaitannya dengan presiden adalah DPR. Lantas, bagaimana hubungan antara DPR dengan presiden? Hubungan presiden dengan DPR terjalin selama proses menjalankan pemerintahan.

Hubungan presiden dengan DPR mencakup beberapa kepentingan, yakni pembentukan undang-undang (UU), peraturan pemerintah, pernyataan perang (termasuk perjanjian dan perdamaian), pelantikan duta besar, serta pemberian amnesti atau abolisi. Berikut penjelasan masing-masing kerja sama antara presiden dan DPR.

Dalam membuat UU, DPR akan menuliskan rancangan yang nantinya dipertimbangkan oleh presiden. Oleh karena itu, mereka bekerja sama dalam membuat UU, begitu juga dengan proses pembuatan peraturan pengganti UU.

Pengangkatan presiden jika terjadi kekosongan kekuasaan

Ada pula hubungan antara MPR dan presiden yang terjalin saat terjadi kekosongan kekuasaan, atau biasa disebut

. MPR berhak menaikkan seseorang untuk mengisi jabatan presiden dengan beberapa syarat tertentu.

Hubungan MPR dan Presiden

Presiden dengan lembaga MPR punya hubungan yang berkaitan dengan peresmian. Di antaranya yakni peresmian pemberhentian presiden, pengangkatan presiden—jika terjadi kekosongan kekuasaan—serta ucap sumpah presiden pertama kali.

Pelantikan presiden

MPR juga punya hubungan saat pelantikan presiden yang terpilih dalam pemilu berlangsung. MPR akan melantik presiden terpilih tersebut dan mendengarkan sumpah presiden yang baru dilantik tersebut.